Ini adalah sepenggal kisah cinta seorang
kakak kepada adiknya. Sebuah kisah rahasia yang kusimpan sendiri hingga saat
ini.
Adalah Mas Nur kakak
laki-lakiku satu-satunya, yang demikian sabar ngemong (mengasuhku) selama kulalui masa kecilku di
sebuah pondok pesantren. Harus ku akui meskipun usiaku baru 11 tahun, aku
adalah anak yang tergolong nakal dan
bandel saat itu,.
Demikian bandel dan nakalnya
aku hingga pernah suatu hari aku kabur dari pesantren hanya gara-gara Mas Nur tidak sempat memasak nasi dan sayur untukku,
itupun karena kesibukannya mengikuti program P4 yang diwajibkan bagi santri dewasa saat itu.
Nah, di penghujung cerita
kaburku itulah, kisah ini dimulai, saat aku di antarkan polisi kembali ke
pesantren malam itu, hal itu yang membuat Mas Nur merasa malu,
sebab bukan saja ia mendapat teguran dari para kiyai tapi juga karena kedatanganku dengan menggunakan mobil patroli polisi telah
membuat gaduh suasana pesantren malam itu,
karena suara sirine mobil
polisi mengundang perhatian ratusan santri untuk datang dan
melihat lebih dekat bagaimana Mas Nur di
panggil dengan pengeras suara di tengah malam, lalu mendapat teguran dari para
polisi itu.
Malam itu….
aku terdiam di ambang ketakutan dan kebingungan.
Malam yang sepi tak mampu membuat tenang suasana
hatiku, gelisah dan ketakutanku seperti
ombak laut selatan yang tak pernah berhenti berderu.
meski kerumunan santri yang tadi
melihatku datang diantar polisi telah kembali ke dunianya masing-masing, tapi aku yang
terduduk lesu di teras asrama santri Demak
seperti lumpuh, kakiku tak bisa berdiri kukuh, seiring perasaan hati yang tak bisa breranjak
dari ketakutanku akan amarah yang kupsatikan
datang dari seorang Mas Nurku.
Mas Nur
memang menjadi wakil orang tua
yang mengasuhku di pondok pesantren pada
saat itu, meskipun beliau berusaha bijak
layaknya orang tua, tapi usianya yang belum genap dua puluh tahun, tak jarang emosinya meledak-ledak tak tertahankan.
“kamu ini,bikin malu kakak saja!, ayo
pulang ke kamar!.”.
suara Mas Nur mengagetkanku. Tiba-tiba
beliau sudah ada di hadapanku.
Beliau lalu menarik lenganku, dengan
langkah cepat beliau membawaku masuk ke dalam kamar asramaku.
“ihghh!!! Dasar bandel!!” suara mas nur bernada geram memarahiku dengan Tangan menonyol kepalaku hingga sedikit mengenai dinding kamar yang kusambut dengan mengusap-usap tanda
kesakitan.
Beruntung sejak semula aku sudah menduga
hal ini, bahwa mas nur pasti akan marah besar denganku sehingga aku seperti
siap dan menerima hal ini.
“kenapa sih kamu jadi anak terlalu
nekat”. Mas nur berkata dengan pelan dan mencoba menyabarkan hati.
“kamu mikir ga sih le, kalu kamu telah membuat banyak orang susah!!”
“ dan
itu sifat terbruk manusia!” tambahnya
“ karena
sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat buat orang lain, jangan
sebaliknya, malah menyusahkan orang lain”! lanjut mas nur
Tampak sekali ia berusaha tenang dan sabar meski seperti kesulitan.
“kamu nih!!! Ihhhh!! “ mas nur kembali tampak murka dengan tangan terkepal dan
menggenggam sekuat-kuatnya.
Meski memakluminya, tapi aku sedikit takut dan sedih ketika
sesekali melihat raut wajahnya
“mau kamun apa sih!!?”
“ngomong!!?” suara mas Nur kencang
sekali, dengan tangan kiri mememgang kerah bajuku dan tangan kanan yang siap menampar wajahku.
Seketika mataku terpejam dengan dahi
mengerut penuh keatakutan. Beruntung mas Nur masih bisa menahan amarahnya
hingga tamparan itu urung dilakukannya.
Tapi, tiba-tiba tangan kirinya maju dan
menjewer telingaku lalu menariknya
dengan sangat kencang
“ighhhhhh!!” suaranya tampak
geram sekali padaku.
Sebenarnya sakitnya tidak seberapa, tapi
ketakutan itu tak mampu lagi membendung
air mataku, akhirnya aku menangis tersedu-sedu.
Dengan telapak kanan mengusap-usap kedua
mata yang basah oleh air mata kesedihan,
tangan kiriku memegang dan mengelus-elus daun telinga.
Tanpa sengaja, jemariku merasakan ada cairan yang keluar dari lubang
telingaku, aku tidak tau apa itu. Maka ku tarik jemariku itu ke depan, meski tak banyak mataku melihat ada
darah yang menempel di telunjukku.
“ Pak
Nur, telinga taqim berdarah”. Kata
Dofir sepupuku, memberitahu mas Nur
Dengan ekspresi kaget dan ketakutan, Mas nur memegang dan memiringkan kepalaku.
“ Astaghfirulahal
adziim”.. suara Mas Nur tampak penuh
penyesalan.
Beliau lalu meniup-niup telingaku dengan
penuh kepanikan. Beliau gunakan kain sarungnya untuk membersihkan darah yang
keluar dari telingkau dengan tanpa hennti berucap istighfar.
“
ya allah, nagpunten ingkang katah” ( ya Allaoh
maafkan saya)
“ Duh
Gusti dos pundi niki?” ( ya tuhan bagaimana ini, kok jadi seperti ini )
Suara masnur tak henti menyesali diri, atas apa yang terjadi.
Beliau lalu memeluk kepalaku, menciuminya
dan mengusap-usap rambutku. Setelah tak ada lagi darah yang mengalir di
telingaku.
“Maafkan
Mas Nur Le” kata beliau kepadaku sambil menghadapkan wajahnya padaku, lalu
memeluk kepalaku kembali.
“Maafkan Mas Nur Le”
“ sekarang kamu mandi sana, terus tidur”
mas nur mengakhiri perkatannya.
Setelah selesai mandi, aku berbaring di
sudut ruangan kamar. Jangan Tanya kasur empuk, atau bantal guling. Di pesantren
salafiyah tradisioal seperti itu, tidur beralaskan sarung saja sudah nikmat dan
sejahtera, dengan batal kayu waru yang di papak bulatannya atau sekantong beras yang masih ada
itu sudah istimewa.
Sebelum benar-benar tidur, aku mendengar
percakapan Mas Nur dengan dofir. Beliau sepertinya menghawatirkan kondisi
telingaku yang berdarah akibat jewerannya. Beliau takut aku tuli atau rusak
pendengarannya.
Menyadari hal itu, aku seperti dapat ide
baru untuk memanfaatkan situasi, aku ingin pura-pura tuli saja di esok hari,
apalagi kalau sedang di suruh-suruh beli ini atau beli itu.
Benar saja, pagi harinya, ketika adzan
subuh berkumandang Mas Nur membangunkku dengan suara khasnya.
“le
tangi le, subuhan dulu”.
Sebenarnya aku mendengar suara mas nur,
tapi karena Aku yang berpura-pura tuli
maka tak sedikitpun aku bereaksi, bahkan hingga mas nur berkali-kali
mengeraskan suaranya dalam membangunkanku.
“ jangan-jangn
budek beneran taqim pak” dofir
berkata pada mas Nur
“apa
iya ya le” suara mas nur sedikit takut, sambil mendatangiku lalu
membangunkan aku dengan tangannya.
“le
qim, bangun le.. subuh, subuh!”. Kata mas nur
Dengan gerakan malas, aku terpaksa bangun
dari tidurku lalu pergi kolam umum untuk brwudlu kemudian sholat subuh.
Keesokan harinya, Mas Nur memanggilku Ketika aku
tengah asyik bermain bola plastic di halaman asrama dengan
teman-temanku.
“ le
qim, udah sore buruan mandi.”
Lagi-lagi aku tak maenggubrisnya, hingga
mas nur harus turun ke lapangan dan terlihat olehku.
Demikian hal ayings terulang, hingga suatu
hari dofir curiga bahwa aku hanya pura-pura tuli. Kejadian itu bermula ketika
dofir berkata setengah mengumukan kepada kang santri yang ada di
asrama Sumatra.
“
woyy,. Siapa mau sawo, matang-matang nih”. Kata dofir.
Buah sawo adalah buah yang paling banyak
di temui di pondok pesantrenku, karena
pohonnya tumbuh besar dan berjajar di depanjang halaman depan, dimana santri
bebas mengambilnya jika sudah tua, tapi
harus di simpan beberapa hari agar matang baru bisa di nikmati.
Hari itu, sawo hasil petikan dofir sudah
matang semua, maka seperti sudah tradisi santri, yang punya rizqi harus mau
berbagi kabar kesenangan itu untuk kemudian dinikmati bersama-sama, setidaknya
untuk teman seasrama.
Mendengar Dofir mengumumkan sawo matang,
aku langsung berlari ke arahnya.
“mana
fir, mana sawo matangnya”. Tak sabar
dan takut tak kebagian, aku langsung membuka bungkus sawo itu, lalu mengambil
beberapa biji
Dofir hanya terdiam saat aku mengambil
sawa itu, dengan mengerutkan dahi ia seperti berfikir sesuatu.
“Kok
pak taqim dengar siih, giliran aku ngumumin sawo matang?”.
Ups!! Aku sedikit kaget dan salah
tingkah. Aku lupa kalu aku sedang tuli ketika mendengar sawo matang yang pasti
manis sekali.
“ee..
kan yang budek telinga kiriku fir, tadi telinga kananku yang dengar”. Aku
berusaha mencari aying yang tepat, sambil berlalu dari kerumunan kang santri
yang mulai sedikit berebut sawo matang milik dofir.
Tapi sepertinya dofir percaya dengan
alasanku, terbukti hingga dua minggu berlalu dia masih mau ketika disuruh
mencari daun pisang untuk sarana pengobatan
telingaku.
Mas nur memang sangat merasa bersalah
sekali atas kejadian malam itu, bahkan setiap hari beliau mau melakukan
berbagai terapi untuk kesembuhan telingaku. Mulai dari memijit bagian bawah
telinga sampai leher menjelang aku tidur, hingga meniupkan hawa panas dari nasi
yang baru matang ke telingaku dengan cara di masukkan daun pisang
lalu di gulung melingkar.
“ giman
le, ada perkembangan ga?” Tanya beliau setelah meniup-niup hawa nasi panas
di bolongan daun pisang itu.
“
telinganya rasanya sakit gak sih le?”. Tanya beliau kepadaku
“ ga
sakit kok mas, Cuma aga budek aja.”
Kataku..
“ dengan
cara apa lagi ya le, biar telingamu
sembuh, kalau ke dokter mas ga punya duitnya,” kata Mas Nur nur dengan nada nyaris putus asa.
Sebenarnya aku tidak tega melihatnya,
tapi dengan “permainan ini” aku merasa
mas nur makin aying sama aku, aku
seperti makin menikmatinya.
“ gini
aja le, nanti malam kita tahajjud, lalu sholat
taubat dan sholat hajat, kita berdo’a semoga Allah aying kesembuhan pada
telingamu dengan rahmat-Nya” Kata
mas Nur sore itu yang ku jawab dengan anggukan kepala.
Menjelang tengah malam, tepatnya jam dua,
seperti yang niatkan, Mas nur
membangunkan aku dari tidur, menyuruhku berwudlu lalu mengajakku berjalan
menuju masjid besar yang berada di ujung pondok pesantrenku.
Dalam perjalnan ke masjid itu, Suasana
pondok tampak sepi, yang terdengar jelas
hanyalh suara jangkrik yang aying dari sana sini, sesekali ada suawa sawo yang
di jatuhkan kelelawar, hingga pada saat
aku dan masnur sampai di masjid, barulah sayup-sayup terdengar pelan sekali
suara kang sanntri yang sedang tadarus
mengaji al qur’an diantra kang santri lainnya yang sedang khusuk shlat malam.
Aku
berdiri di belakang mas Nur sebagai makmum yang mengikuti rakaat demi
rakaat sang imam. Meskipun dengan mata
yang masih ngantuk, tapi aku berusaha untuk khusuk.
Selesai shalat, mas nur duduk bersila.
Beliau memintaku untuk lebih dekat duduk di sebelahnyaa. Entah do’a apa yang
dibaca aku tidak jelas mendengarnya, aku hanya berucap amin dan amin seirama
dengan nada-nada doa yang ada.
Stelah do’a do’a habis terbaca, mas nur
tampak diam tak bersuara, hingga kahirnya terdengar olehku sesunggukkan
tangisannya. Tiba-tiba ada yang aneh dari perasaanku saat itu, aku seperti sedih melihat mas nur menangis
dan bersuara lirih …
“ ya
Allah, hamba mengaku bersalah, atas ketidak sabaran hamba”
“Hamba
lemah dan berprilaku nista”
“hamba
bodoh karena mengatasnamakn cinta dari sebentuk amarah dan murka”
“kini
hamba tak tau lagi harus bagaimana”
“bahkan
untuk berani bercerita pada orang tua, hamba tak bisa berkata-kata”
“
namun ya Allah, kepada siapa lagi hamba akan meminta ?!
“sementara
tuhanku hanyalha engkau semata”
“maka
ampuni hambamu ini”
“sembuhkanlah
telinga adikku ini”
“mudahkan
semua permasalahan kami”
“
ya Allah… ya allahhh… Ya allahh…”
Mendengar semua yang di haturkan mas Nur
dalam do’anya, Aku merasa sangat bersalah dan durhaka, aku malu pada Allah
yang maha tahu bahwa aku berpura-pura.
Dengan rasa yang tak tau namanya,
kusandarkan kepalaku pada lengan mas nur, itu aku berharap dengan cara mas nur
tak lagi berduka, lalu dengan cinta
beliau menyambut sandaranku dalam
pelukan kasih aying sebagai anak manusia.
Keesokan harinya, ketika adzan subuh
berkumnadang. Seperti biasa, mas nur membangunkanku dengan suara khasnya
“le..
qim bangun , subuhan dulu”.
Tanpa harus di sentuh beliau, pagi itu
aku bangun begitu saja.
“lho
kamu sudah bisa dengar suara mas nur le?!’
“ iya
mas” jawabku
“ kamu
bisa dengar jelas suara mas nur?!”
“iyaaa”
jawabku lagi sambil menganggukkan kepala.
“Alhamdulillaahh…
ya Alloh..”
“Do’aku
kau jawab secepatnya”. Suara mas nur bergembira,
“
ini mu’jizat le” lanjutnya dengan kedua tangan
menengadah ke atas beliau tampak beryukur atas “mukjizat cinta ” yang ada.
Hingga saat ini, aku tidak tahu apakah
mas Nur sudah mengetahuinya apa belum bahwa
saat itu pura-pura tuli, jika belum maka dengan menuliskan cerita ini aku ingin minta maaf dan menghaturkan terima
kasih atas semua yang beliau perbuat, Setidaknya atas do’a d’oa yang terucap,
dan telah membawaku pada kesadaran diri atas
kepura-puraan dan khilaf, karena itulah yang sebenanrnya disebut
“mukjizat”
“Berdo’alah !
karena Do’a adalah
bagian dari mukjizat Cinta.
No comments:
Post a Comment