Monday, February 1, 2016

AMARAH CINTA ( Jejak-Jejak Bintang)



Ini adalah sepenggal kisah cinta seorang kakak kepada adiknya. Sebuah kisah rahasia yang kusimpan sendiri hingga saat ini.
            Adalah Mas Nur kakak laki-lakiku  satu-satunya,  yang demikian sabar ngemong  (mengasuhku) selama kulalui masa kecilku di sebuah pondok pesantren. Harus ku akui meskipun usiaku baru 11 tahun, aku adalah anak yang tergolong nakal dan  bandel saat itu,.
Demikian  bandel dan nakalnya aku hingga pernah suatu hari aku kabur dari pesantren  hanya gara-gara Mas Nur tidak  sempat memasak nasi dan sayur   untukku,  itupun karena kesibukannya mengikuti program P4  yang diwajibkan bagi santri dewasa saat itu.
Nah,  di penghujung cerita kaburku itulah, kisah ini dimulai, saat aku di antarkan polisi kembali ke pesantren malam itu,   hal itu yang membuat Mas Nur merasa malu, sebab bukan saja ia mendapat teguran dari para kiyai tapi juga karena kedatanganku  dengan menggunakan mobil patroli polisi telah membuat gaduh suasana pesantren malam itu,  karena suara sirine  mobil polisi   mengundang  perhatian ratusan santri untuk datang dan melihat lebih dekat  bagaimana Mas Nur di panggil dengan pengeras suara di tengah malam, lalu mendapat teguran dari para polisi itu.
Malam itu.  aku terdiam di ambang ketakutan dan kebingungan.
            Malam yang sepi tak mampu membuat tenang suasana hatiku,  gelisah dan ketakutanku seperti ombak laut selatan yang tak pernah berhenti berderu.
meski kerumunan santri yang tadi melihatku datang diantar polisi telah kembali ke  dunianya masing-masing, tapi aku yang terduduk lesu di teras asrama santri Demak  seperti lumpuh, kakiku tak bisa berdiri kukuh,  seiring perasaan hati yang tak bisa breranjak dari  ketakutanku akan amarah yang kupsatikan datang dari seorang Mas Nurku.
Mas Nur  memang menjadi wakil orang tua  yang mengasuhku di pondok pesantren   pada saat itu, meskipun  beliau berusaha bijak layaknya orang tua, tapi usianya yang belum genap  dua puluh tahun, tak jarang  emosinya meledak-ledak tak tertahankan.
kamu ini,bikin malu kakak saja!, ayo pulang ke kamar!.”.
suara Mas Nur mengagetkanku. Tiba-tiba beliau sudah ada di hadapanku.
Beliau lalu menarik lenganku, dengan langkah cepat beliau membawaku masuk ke dalam kamar asramaku.
ihghh!!! Dasar bandel!!”  suara mas nur bernada geram memarahiku  dengan Tangan   menonyol kepalaku  hingga sedikit mengenai dinding kamar  yang kusambut dengan mengusap-usap tanda kesakitan.
Beruntung sejak semula aku sudah menduga hal ini, bahwa mas nur pasti akan marah besar denganku sehingga aku seperti siap dan menerima hal ini.
“kenapa sih kamu jadi anak terlalu nekat”. Mas nur berkata dengan pelan  dan mencoba menyabarkan hati.
kamu mikir ga sih le,   kalu kamu telah membuat banyak orang susah!!”
dan itu sifat terbruk manusia!” tambahnya
“ karena  sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat buat orang lain, jangan sebaliknya, malah menyusahkan orang lain”! lanjut mas nur
Tampak sekali ia berusaha  tenang dan sabar meski seperti kesulitan.
“kamu nih!!! Ihhhh!!  mas nur kembali  tampak murka dengan tangan terkepal dan menggenggam sekuat-kuatnya.
Meski memakluminya,  tapi aku sedikit takut dan sedih ketika sesekali melihat raut wajahnya
mau kamun apa sih!!?”
“ngomong!!?” suara mas Nur kencang sekali, dengan tangan kiri mememgang kerah bajuku dan tangan  kanan yang siap menampar wajahku.
Seketika mataku terpejam dengan dahi mengerut penuh keatakutan. Beruntung mas Nur masih bisa menahan amarahnya hingga tamparan itu urung dilakukannya.
Tapi, tiba-tiba tangan kirinya maju dan menjewer telingaku lalu menariknya  dengan sangat kencang
“ighhhhhh!!” suaranya tampak geram sekali padaku.
Sebenarnya sakitnya tidak seberapa, tapi ketakutan itu  tak mampu lagi membendung air mataku, akhirnya aku menangis tersedu-sedu.
Dengan telapak kanan mengusap-usap kedua mata yang basah oleh air mata kesedihan,   tangan kiriku memegang dan mengelus-elus daun telinga.
Tanpa sengaja, jemariku  merasakan ada cairan yang keluar dari lubang telingaku, aku tidak tau apa itu. Maka ku tarik jemariku itu  ke depan, meski tak banyak mataku melihat ada darah yang menempel di telunjukku.
Pak Nur, telinga taqim berdarah”.  Kata Dofir sepupuku, memberitahu mas Nur
Dengan ekspresi kaget dan  ketakutan, Mas nur memegang  dan memiringkan kepalaku.
Astaghfirulahal adziim”..  suara Mas Nur tampak penuh penyesalan.
Beliau lalu meniup-niup telingaku dengan penuh kepanikan. Beliau gunakan kain sarungnya untuk membersihkan darah yang keluar dari telingkau dengan tanpa hennti berucap istighfar.
“ ya allah, nagpunten ingkang  katah” ( ya Allaoh maafkan saya)
Duh Gusti dos pundi niki?” ( ya tuhan bagaimana ini, kok jadi seperti ini ) Suara masnur tak henti menyesali diri, atas apa yang terjadi.
Beliau lalu memeluk kepalaku, menciuminya dan mengusap-usap rambutku. Setelah tak ada lagi darah yang mengalir di telingaku.
Maafkan Mas Nur Le” kata beliau kepadaku sambil menghadapkan wajahnya padaku, lalu memeluk kepalaku kembali.
Maafkan Mas Nur Le”
 sekarang kamu mandi sana, terus tidur” mas nur mengakhiri perkatannya.

Setelah selesai mandi, aku berbaring di sudut ruangan kamar. Jangan Tanya kasur empuk, atau bantal guling. Di pesantren salafiyah tradisioal seperti itu, tidur beralaskan sarung saja sudah nikmat dan sejahtera, dengan batal kayu waru yang di papak  bulatannya atau sekantong beras yang masih ada itu sudah istimewa.
Sebelum benar-benar tidur, aku mendengar percakapan Mas Nur dengan dofir. Beliau sepertinya menghawatirkan kondisi telingaku yang berdarah akibat jewerannya. Beliau takut aku tuli atau rusak pendengarannya.
Menyadari hal itu, aku seperti dapat ide baru untuk memanfaatkan situasi, aku ingin pura-pura tuli saja di esok hari, apalagi kalau sedang di suruh-suruh beli ini atau beli itu.
Benar saja, pagi harinya, ketika adzan subuh berkumandang Mas Nur membangunkku dengan suara khasnya.
le tangi le,  subuhan dulu”.
Sebenarnya aku mendengar suara mas nur, tapi karena  Aku yang berpura-pura tuli maka tak sedikitpun aku bereaksi, bahkan hingga mas nur berkali-kali mengeraskan suaranya dalam membangunkanku.
jangan-jangn budek beneran taqim pak” dofir  berkata pada mas Nur 
apa iya ya le” suara mas nur sedikit takut, sambil mendatangiku lalu membangunkan aku dengan tangannya.
“le qim, bangun le.. subuh, subuh!”. Kata mas nur
Dengan gerakan malas, aku terpaksa bangun dari tidurku lalu pergi kolam umum untuk brwudlu kemudian sholat subuh.
Keesokan harinya, Mas Nur memanggilku  Ketika aku  tengah asyik bermain bola plastic di halaman asrama dengan teman-temanku.
le qim, udah sore buruan mandi.”
Lagi-lagi aku tak maenggubrisnya, hingga mas nur harus turun ke lapangan dan terlihat olehku.
 Demikian hal ayings terulang, hingga suatu hari dofir curiga bahwa aku hanya pura-pura tuli. Kejadian itu bermula ketika dofir berkata  setengah  mengumukan kepada kang santri yang ada di asrama Sumatra.
“ woyy,. Siapa mau sawo, matang-matang nih”.    Kata dofir.
Buah sawo adalah buah yang paling banyak di temui di   pondok pesantrenku, karena pohonnya tumbuh besar dan berjajar di depanjang halaman depan, dimana santri bebas mengambilnya jika sudah tua, tapi  harus di simpan beberapa hari agar matang baru bisa di nikmati.
Hari itu, sawo hasil petikan dofir sudah matang semua, maka seperti sudah tradisi santri, yang punya rizqi harus mau berbagi kabar kesenangan itu untuk kemudian dinikmati bersama-sama, setidaknya untuk teman seasrama.
Mendengar Dofir mengumumkan sawo matang, aku langsung berlari ke arahnya.
mana fir, mana sawo matangnya”.  Tak sabar dan takut tak kebagian, aku langsung membuka bungkus sawo itu, lalu mengambil beberapa biji
Dofir hanya terdiam saat aku mengambil sawa itu, dengan mengerutkan dahi ia seperti berfikir sesuatu.
Kok pak taqim dengar siih, giliran aku ngumumin sawo matang?”.
Ups!! Aku sedikit kaget dan salah tingkah. Aku lupa kalu aku sedang tuli ketika mendengar sawo matang yang pasti manis sekali.
ee.. kan yang budek telinga kiriku fir, tadi telinga kananku yang dengar”. Aku berusaha mencari aying yang tepat, sambil berlalu dari kerumunan kang santri yang mulai sedikit berebut sawo matang milik dofir.
Tapi sepertinya dofir percaya dengan alasanku, terbukti hingga dua minggu berlalu dia masih mau ketika disuruh mencari daun pisang untuk sarana pengobatan    telingaku.
Mas nur memang sangat merasa bersalah sekali atas kejadian malam itu, bahkan setiap hari beliau mau melakukan berbagai terapi untuk kesembuhan telingaku. Mulai dari memijit bagian bawah telinga sampai leher menjelang aku tidur, hingga meniupkan hawa panas dari nasi yang baru matang ke telingaku dengan cara di masukkan  daun pisang  lalu di gulung melingkar.
giman le, ada perkembangan ga?” Tanya beliau setelah meniup-niup hawa nasi panas di bolongan daun pisang itu. 
“ telinganya rasanya sakit gak sih le?”.  Tanya beliau kepadaku
ga sakit kok mas, Cuma  aga budek aja.” Kataku..
dengan cara apa lagi ya le, biar  telingamu sembuh, kalau ke dokter mas ga punya duitnya,” kata  Mas Nur nur dengan nada nyaris putus asa.
Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tapi dengan “permainan ini”  aku merasa mas nur makin  aying sama aku, aku seperti makin menikmatinya.
gini aja le, nanti malam kita tahajjud, lalu sholat  taubat dan sholat hajat, kita berdo’a semoga Allah aying kesembuhan pada telingamu dengan rahmat-Nya  Kata mas Nur sore itu yang ku jawab dengan anggukan kepala.
Menjelang tengah malam, tepatnya jam dua, seperti  yang niatkan, Mas nur membangunkan aku dari tidur, menyuruhku berwudlu lalu mengajakku berjalan menuju masjid besar yang berada di ujung pondok pesantrenku.
Dalam perjalnan ke masjid itu, Suasana pondok tampak sepi,  yang terdengar jelas hanyalh  suara jangkrik yang aying  dari sana sini, sesekali ada suawa sawo yang di jatuhkan kelelawar,  hingga pada saat aku dan masnur sampai di masjid, barulah sayup-sayup terdengar pelan sekali suara kang sanntri yang sedang  tadarus mengaji al qur’an diantra kang santri lainnya yang sedang khusuk shlat malam.
Aku  berdiri di belakang mas Nur sebagai makmum yang mengikuti rakaat demi rakaat sang imam.  Meskipun dengan mata yang masih ngantuk, tapi aku berusaha untuk khusuk.
Selesai shalat, mas nur duduk bersila. Beliau memintaku untuk lebih dekat duduk di sebelahnyaa. Entah do’a apa yang dibaca aku tidak jelas mendengarnya, aku hanya berucap amin dan amin seirama dengan  nada-nada doa yang ada.
Stelah do’a do’a habis terbaca, mas nur tampak diam tak bersuara, hingga kahirnya terdengar olehku sesunggukkan tangisannya. Tiba-tiba ada yang aneh dari perasaanku saat itu,  aku seperti sedih melihat mas nur menangis dan bersuara lirih …
ya Allah, hamba mengaku bersalah, atas ketidak sabaran hamba
Hamba lemah dan berprilaku nista
hamba bodoh karena mengatasnamakn cinta dari sebentuk amarah dan murka
kini hamba tak tau lagi harus bagaimana”
“bahkan untuk berani bercerita pada orang tua, hamba tak bisa berkata-kata”
“ namun ya Allah, kepada siapa lagi hamba akan meminta ?!
“sementara tuhanku hanyalha engkau semata”
“maka ampuni hambamu ini”
“sembuhkanlah telinga adikku ini”
“mudahkan semua permasalahan kami”
“ ya Allah… ya allahhh… Ya allahh…”
Mendengar semua yang di haturkan mas Nur dalam do’anya,  Aku merasa sangat  bersalah dan durhaka, aku malu pada Allah yang maha tahu bahwa aku berpura-pura.
Dengan rasa yang tak tau namanya, kusandarkan kepalaku pada lengan mas nur, itu aku berharap dengan cara mas nur tak lagi berduka, lalu dengan cinta  beliau menyambut sandaranku  dalam pelukan kasih aying sebagai anak manusia.

Keesokan harinya, ketika adzan subuh berkumnadang. Seperti biasa, mas nur membangunkanku dengan suara khasnya
le.. qim bangun , subuhan dulu”.
Tanpa harus di sentuh beliau, pagi itu aku  bangun begitu saja.
lho kamu sudah bisa dengar suara mas nur le?!’
iya mas” jawabku
kamu bisa dengar jelas suara mas nur?!”
iyaaa” jawabku lagi sambil menganggukkan kepala.
Alhamdulillaahh… ya Alloh..”
“Do’aku kau jawab secepatnya”. Suara mas nur bergembira,
“ ini mu’jizat le” lanjutnya dengan kedua tangan menengadah ke atas beliau tampak beryukur atas “mukjizat cinta ” yang ada.
Hingga saat ini, aku tidak tahu apakah mas Nur sudah mengetahuinya apa belum bahwa  saat itu pura-pura tuli, jika belum maka dengan menuliskan cerita ini  aku ingin minta maaf dan menghaturkan terima kasih atas semua yang beliau perbuat, Setidaknya atas do’a d’oa yang terucap, dan telah membawaku pada kesadaran diri atas   kepura-puraan dan khilaf, karena itulah yang sebenanrnya disebut “mukjizat”

Berdoalah ! karena Doa adalah bagian dari mukjizat Cinta.
   

No comments:

Post a Comment